Katanya Pemilihan Umum dengan segala ornamen dan dinamikanya dipandang
sebagai pesta lima tahunan. Termasuk pesta janji-janji dari para calon yang
sangat ingin terpilih rakyat untuk menduduki kursi parlemen bahkan kursi
presiden. Rupanya tidak akan ada janji apa-apa kalau mau menduduki kursi reyot,
paling disebut jangji gek. Sebagian benar berjanji dengan sepenuh hati
untuk dipenuhi tapi tidak sedikit yang janji palsu hanya untuk membuat tertarik
calon pemilih, tanpa sedikitpun berfikir untuk mewujudkannya. Walau memang ada
janji palsu yang enak didengar yaitu janji palsu dalam genre dangdut yang dapat
membuat bujur ngagitek dan mata peureum beunta.
Jika mengasumsikan bahwa janji palsu sebagai sesuatu dalam bentuk yang terlihat, katakan saja seperti asap tipis dari tiap kata janji tersebut, dengan beratus-ratus ribu calon yang berjanji palsu, dan dengan dilakukan berkali-kali, noroweco diungal tempat, sampai mulutnya crut crot ngabudah, maka Indonesia saat ini sedang diliputi asap pekat dari omongan para calon yang berjanji palsu. Apalagi penyebarannya dibantu oleh media, baik elektronik maupun sosial media di internet, sampai tatalepa ke ujung desa sekalipun.
Penerbangan, pelayaran dan transportasi lainnya terhenti karena jarak pandang terbatas atau bahkan mungkin siang hari dan malam hari sama gelap dan pekatnya sampai tidak kadeuleu curuk-curuk acan. Bukan hal tidak mungkin siaran berita berisi selain janji-janji yang ngebul tadi, durasinya berimbang dengan berita berbagai kejadian tabrakan, mobil, motor beca keretek malah dirumah antara bapak dan anak ibu karena asap pekat terus keluar dari tv, sampai bongbrang barang dapur jatuh akibat uyup ayap rugup ragap.
Bahkan jika ditambah asumsinya dengan bahwa setiap asap yang keluar dari janji palsu tersebut mempunyai bau. Baunya mempunyai intensitas terendah saja, dengan terakumulasi maka Indonesia sedang dilanda bau busuk menyengat, mulikbek sampai eungap ngarenghap. Dari awalnya menutup hidung menggunakan telapak tangan sampai jepitan untuk jemuran beralih fungsi untuk nyepet irung, karena tangan cangkeul.
Kalau asap akibat kebakaran hutan, kebakaran lahan gambut atau kebakaran lainnya, maka pemadam kebakaran dan masyarakat akan diminta secara gotong royong menghilangkan sumber asap tersebut. Tapi bagaimana dengan sumber asap dan bau dari para calon yang ngabulaeh mengumbar janji palsu ?
Disiram dia pakai payung, diteke rame-rame terbentur HAM. Karena konon berbohong pun bagian dari hak asasi.
Untung saja asap dan bau hanya sebuah asumsi sederhana yang tidak akan terjadi sepanjang mengucapkan janji palsunya tidak sambil memakan perapian dan jengkol atau peuteuy.
Tapi bagaimana efek yang bukan asumsi hasil dari pendengaran dan penglihatan, dimana apa yang didengar tidak sesuai dengan apa yang dilihat terlebih tidak dapat dirasakan hasilnya ? kita, termasuk nenek kakek tua muda bahkan anak-anak diperdengarkan janji manis, dipertontonkan kebohongan dengan tidak menepati janji sebelumnya. Bukannya hal ini akan menjadikan kebiasaan ? otak watak dari anak-anak dalam jangka waktu lama dan terulang akan menjadikan mutasi pemikiran jernih, ke arah pemikiran keruh.
Saat orang tua meminta anaknya berjanji, anak akan cepat dan sigap berjanji bahkan sumpah mengiyakan, karena ingin cepat dapat permen atau mainan, masalah tidak ditepati adalah urusan nanti saat diminta klarifikasi, terlatih berkelit beralasan menutupi dan mempercantik kebohongan.
Bahkan kelak janji palsu dalam penuturan dan sikap pencitraannya mungkin lebih baik dari saat ini, karena terlatih sejak dini. Atau jangan-jangan kenapa anak-anak dilarang ikut kampanye, untuk menekan kemungkinan ini ??? karena sudah diprediksi banyak yang akan bohong ?? tidak yakin larangan ini akibat bisi hayang jajan meakeun kolotna mah.
Semoga anak-anak tidak kena mutasi akibat polusi janji karena bagaimana setiap lima tahun diberi asupan bohong betapa gelap gulita nanti negara kita poek mongkleng buta rajin dengan bau menyengat mulikbek bikin utah uger
Tidak ada komentar:
Posting Komentar