Di..., yu kita maen lagi....!, begitu salah satu penggalan dialog pada sebuah iklan layanan masyarakat yang dulu pernah beredar di hampir seluruh stasiun televisi negri ini, bukan mau mengomentari iklan tersebut, namun kalimat itu yang membuat saya mengingat masa kecil dulu, masa-masa yang menurut hampir semua orang masa paling indah yaitu masa kanak-kanak
Walau sudah puluhan tahun masa itu terlewati, namun masih segar di ingatan kala bermacam-macam permainan dilakukan dengan iringan tawa riang..., atau kadang jerit tangisan khas anak-anak jika kebetulan jatuh, sungguh sangat indah mengenangnya. Untaian kejadian dan kata-kata teman saat itu bagai badai memenuhi ruang fikir dan bayangan, saat bermain rumah-rumahan, bermain sepak bola, bahkan permainan-permainan lokal yang mungkin anak-anak sekarang sudah jarang memainkannya, seperti gatrik, encrak bagi perempuan dan lainnya.
Kenangan itu lekat sekali, senyuman tak henti mengikuti ketika fikiran mengajak membayangkan semuanya. Termasuk saat membayangkan beberapa permainan yang dulu sering dilakukan, teringat bagaimana semua bisa tunduk pada aturan permainan itu, walau entah siapa yang membuat aturannya. Semua permainan ada aturannya ada larangan ada pula hukuman yang jelas jika larangan itu dilanggar
Ada juga strategi didalamnya..., ada daya juang untuk menjadi pemenang, sungguh sangat luar biasa saat itu padahal anak-anak sering dikatakan polos, namun semangat untuk menjadi pemenang rupanya sudah ada hadir.
Kini dapat lantang mengatakan si A, si B adalah teman sepermainan, karena dulu bisa menjadi teman atau lawan dalam permainan itu, tak bisa membayangkan andai anak-anak sekarang harus bernostalgia nanti tentang permainan dan kawan sepermainannya, apakah dia akan menemui game watch, nitendo, atau PS ah entah lah, atau mungkin menemui teman-temannya kala memainkan permainan modern itu, ini yang lebih memungkinkan sepertinya.
Rupanya anak yang sering bermain, lebih banyak kesempatan sejak dini menemui suatu aturan, suatu tekanan persaingan, terbiasa dalam tekanan keinginan menjadi pemenang, serta menghargai rentang waktu permainan dibandingkan anak-anak lainnya yang jarang bermain, lebih lanjut bisa lebih awal berinteraksi sosial dengan teman-teman sebayanya yang tentu (pula) dengan berbagai karakter.
Saat itu permainan mutlak dimainkan utuh sebagai permainan itu sendiri tanpa campuran permainan lainnya, bahkan jika ada teman yang bermain licik akan segera dia tidak mendapat ajakan untuk bermain lagi esoknya, bahkan penolakan kalau pun dia meminta bergabung untuk bermain.
Entah mengapa sekarang saat sudah dewasa, saat tidak disebut polos lagi permainan itu seakan bias, beberapa permainan yang dikatakan dewasa, dicampur aduk dengan permainan lainnya, katakan lah terkadang sepak bola bercampur tinju atau silat.
Orientasi menjadi pemenang seolah tujuan yang lebih tinggi seakan lupa keindahan dan asyiknya permainan itu, seolah-olah permainan ini hanya saat ini yang tak mungkin dimainkan lagi kelak, tidak merasa takut dan malu untuk bermain curang bahkan licik, segudang pembenaran bahkan lahir darinya, tak khawatir punya teman yang nantinya menolak bermain.
Bahkan yang mengagetkan, dalam kedewasaannya lawan permainan merasa sakit adalah bagian dari kemenangan itu sendiri, terbiasa bahkan dipersiapkan (mungkin) untuk teman main berikutnya yang juga akan dicurangi atau diliciki
Apakah ini akibat masa anak-anak kurang bermain ? Hingga kurang memaknai suatu permainan, atau bagian suatu permainan bagi lawannya agar lawannya bisa menang tanpa harus tergerus cara-cara yang tidak patut disebut sebagai pemain yang baik.
Walahu alam
(Tanjung Enim 201009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar